Jumat, 21 Februari 2014

Profil Kongregasi Redemptoris Indonesia



 


CONGREGATIO SANCTISSIMI REDEMPTORIS (C. Ss. R.)
Propinsial Redemptoris Indonesia
Wanno Gaspar-Kotak Pos 163, Waikabubak 87203
Sumba Barat-NTT,
Tlpn. 0387-22250; Fax. 0387-22355







1.    Kongregasi Sang Penebus Mahakudus (C. Ss. R.)

2.    Status:     Kepausan, Pimpinan Jendral Berkedudukan di Roma - Italia

3.    Moto:       Copiosa Apud Eum Redemptio (Mewartakan Penebusan Berlimpah-limpah)

4.    Pendiri:    St. Alfonsus Maria de Liguori

5.    Pelindung: St. Maria Bunda Selalu Menolong

6.    Bentuk-Bentuk Karya Redemptoris

1)    Pastoral Parokial
Dalam usaha mewujudnyatakan pendirian Gereja lokal yang mandiri para Redemptoris mengembangkan umat lewat pastoral parokial. Hingga saat ini para Redemptoris menangani beberapa paroki yang berada di keuskupan; Keuskupan Weetabula, Keuskupan Larantuka, Keuskupan Agung Jakarta dan Keuskupan Palangkaraya.   

2)    Misi Umat
Para Redemptoris mempunyai tugas utama mewartakan Sabda Allah secara eksplisit demi pertobatan yang mendasar, maka karya Misi Umat (MU) menjadi andalan. Para misionaris umat membentuk tim dan kemudian tinggal di wilayah tertentu selama 3-6 bulan dan bersama umat menata kembali kehidupan menggereja. Sebelumnya para misionaris umat mengikuti program Sanggar Misi Umat Redemptoris (SAMUR). 

3)    Sekolah Katolik
-       Perhatian besar diberikan pula pada pendidikan formal melalui sekolah-sekolah. Diantaranya SD-SMA Andaluri, Waingapu. Semua sekolah ini berada dibawah naungan yayasan YAPNUSDA (Yayasan Nusa Cendana).
-       Kini para Redemptoris juga menangani Seminari Kelas Persiapan Atas (KPA), Ivan Ziatyk, Sumba Barat Daya.

4)    Rumah Retret
Para Redemptoris juga melayani karya Retret, baik di rumah retret maupun di tempat lain. Sekarang Redemptoris mempunyai dua rumah Retret; Konventu Weetabula dan Wisma Liguori Jakarta.

7.    Alamat-Alamat Biara
1)    PROPINSIALAT REDEMPTORIS INDONESIA
Wanno Gaspar – Kotak Pos 163
Waikabubak – 87203
Sumba Barat – NTT. Telp (0387) 22250
2)    WISMA SANG PENEBUS (Rumah Studi)
Jl. Monjali, 48c
Gemawang – Sinduadi – Mlati
Sleman – Yogyakarta – 55011
Telp. (0274) 625021

3)    NOVISIAT REDEMPTORIS
Wanno Gaspar – Kotak Pos 163
Waikabubak – 87203
Sumba Barat – NTT. Telp (0387) 22250

4)    POSTULAT REDEMPTORIS
Asrama Pewarta Injil (API) Pada Dita
Waingapu, Sumba Timur - NTT
Tlpn. (0387) - 2564134

5)    RUMAH RETRET ST. ALFONSUS
Konventu Redemptoris, Weetabula 87254
Sumba Barat Daya – NTT
Telp. (0387) 24045

8.    Syarat-Syarat Menjadi Redemptoris
Ayo teman-teman muda, harapan Gereja masa depan, silakan bergabung bersama kami........................
1)    Lulusan Seminari Menengah / sederajat
2)    Sudah menerima sakramen inisiasi
3)    Belum nikah
4)    Sehat jasmani dan rohani (disertakan keterangan dokter)
5)    Izin dari orang tua dan rekomendasi pastor paroki
Siap menjadi misionaris

 

                            membawa Penebusan Berlimpah lewat Misi Umat



                                           Para Redemptoris Muda


 

Minggu, 16 Februari 2014

Perayaan Ekaristi bersama Dewan Gendral





Dalam suasana persaudaraan seperti yang diteladankan oleh St. Alfonsus, Komunitas Wisma Sang Penebus mengadakan perayaan Ekaristi bersama Dewan Gendral (Pater, Jansen, CSsR dan Br. Jefri, CSsR). dalam perayaan ini hadir juga pater propinsial, Pater Sebastian, CSsR. Perayaan Ekaristi ini merupakan perayaan puncak sekaligus penutupan kunjungan Gendral.

dampak erupsi Gunung Kelud






Letak Gunung Kelud memang jauh dari Jogjakarta, di mana tempat para frater CSsR mengenyam pendidikan di Seminari Tinggi. Gunung Kelud berada di antara kota Blitar, Kediri dan Malang yang adalah daerah Propinsi Jawa Timur. namun erupsi Kelud yang terjadi pada Kamis 13 Februari itu dirasakan juga oleh warga Jogjakarta. maka beberapa hari ini, para Frater harus ekstra bekerja untuk membersihkan Wisma agar terhindar dari Debu vulkanik yang dapat menggangu kesehatan, konsentrasi belajar dan tentu saja semua kegiatan pastoral lainnya.

Sabtu, 15 Februari 2014

WSP disaat senja




Sekaten Dalam Sejarah



SEKATEN DALAM SEJARAH
1.      Pengantar
Berbicara tentang sekaten, sepintas orang langsung berpikir tentang pasar malam yang digelar di alun-alun utara. Namun bila ditelusuri secara lebih mendalam, kita akan menemukan arti sesungguhnya dari sekaten itu sendiri yang mana sekaten itu bukanlah hanya sekedar kegiatan yang berlangsung pada saat pasar malam itu tetapi lebih dari pada itu sekaten sebenarnya merupakan sebuah rangkaian kegiatan budaya yang dilakukan oleh Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Pasar malam yang digelar selama 39 hari hanyalah merupakan event sebagai pendukung upacara sekaten demi memeriahkan kota Yogyakarta.
Bagi orang luar Jawa mungkin belum terlalu mengenal dan bahkan mengira bahwa sekaten itu hanyalah sekedar kegiatan dalam pasar malam itu sendiri. Untuk itu, dalam paper singkat ini, kami sekelompok ingin menyajikan informasi akan peristiwa sekaten yang sesungguhnya sejauh kami tangkap dari hasil wawancara kami dengan beberapa orang yang kami jumpai saat kegiatan pasar malam itu berlangsung. Kami merasa apa yang termuat dalam paper ini masih sangat kurang karena proses wawancara yang dilakukan sangat singkat dan dalam waktu yang sangat mendesak. Maka kami menyadurnya juga dari beberapa pustaka yang mendukung.
2.      Sejarah Sekaten Yogyakarta
Sekaten sudah dimulai sejak zaman Kerajaan Hindu. Diceritakan bahwa pada masa pemerintahan Prabu Hajipamoso di Kerajaan Pengging datanglah wabah penyakit menular. Dipercaya bahwa penyakit tersebut disebarkan oleh makhluk-makhluk halus yang bersemayam di dalam rimba Krendowahono. Untuk menghilangkan wabah penyakit menular, Prabu Hajipamoso menitahkan untuk menyelenggarakan upacara kurban yang dipersembahkan untuk Batari Durga. Upacara tersebut kemudian dikenal dengan nama mahesolawung. Pada saat itu ada hewan yang harus menjadi kurban, maka yang dikurbankan saat itu adalah kerbau (maheso) liar (lawung). Darah dan beberapa bagian tubuh tertentu dari hewan tersebut dibawa ke rimba Krendowahono untuk dipersembahkan kepada Batari Durga. Setelah diselenggarakan upacara tersebut, lenyaplah wabah penyakit menular tersebut[1]. Kebetulan rakyat Majapahit mewarisi tradisi tersebut. Sehingga sampai pada masa pemerintahan Prabu Brawijaya V, tradisi ini mengalami kemajuan. Misalnya kegiatan ini diramaikan dengan memperdengarkan gamelan pusaka bernama Kanjeng Kyai Sekar Delima yang dipandang keramat dan memberkati. Perkembangan ini sangat menarik perhatian rakyat sehingga tidak sedikit yang hadir pada saat gamelan itu dibunyikan.  Salah satu versi mengenai nama Sekaten ini berasal dari kata sesek ati  (sesak hati). Istilah Sesek Ati ini diambil dari riwayat Prabu Brawijaya V yang dirundung kesedihan lantaran kerajaannya terancam runtuh. Irama gendhing yang dilantunkan dalam tradisi sekaten dimaksudkan untuk menghibur hati Prabu Brawijaya V. Karena itu, gendhing Sekaten dipercaya bisa memberikan ketenteraman bila didengarkan dengan sungguh-sungguh.
Tradisi ini kemudian diadopsi oleh kesultanan Demak yang berdiri pada abad ke-15. Saat itu Kadipaten Demak berada di bawah pimpinan Adipati Raden Patah yang bergelar Sultan Syah Alam Akbar atau Sultan Ngabdil Suryongalam. Setiap tahun, Raden Patah menghimpun para pemuka agama Islam di seluruh pulau Jawa yang dikenal dengan nama Walisanga untuk mengadakan musyawarah  di tempat itu. Pada tahun 1939 Caka atau 1477 Masehi, Raden Patah selaku Adipati Kabupaten Demak Bintara dengan dukungan para wali membangun Mesjid Demak. Selanjutnya berdasarkan hasil Musyawarah para wali, digelarlah kegiatan syiar Islam secara terus menerus selama 7 hari menjelang hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Agar kegiatan tersebut menarik perhatian rakyat, dibunyikanlah dua perangkat gamelan buah karya Sunan Giri. Selain membuat gamelan, Sunan Giri juga menciptakan gending, untuk alat penyebaran agama Islam. Sekaten diadakan oleh Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Sekaten itu sendiri merupakan simbol kecintaan rakyat dan keraton akan nabi Muhammad SAW yang memiliki julukan habibullah (kekasih Allah).
Agar kegiatan tersebut menarik perhatian rakyat maka dibunyikanlah dua perangkat gamelan buah karya Sunan Giri sambil melantunkan gendhing-gendhing ciptaan para wali terutama Sunan Kalijaga. Sementara itu para wali secara bergantian melakukan kegiatan dakwah atau siar agama Islam di hadapan rakyat yang hadir. Rakyat yang tertarik dengan upacara tersebut dan ingin memeluk agama Islam dituntun untuk mengucapkan kalimat Syahadat (Syahadatain). Lafal Syahadat yang pertama adalah, “Asyhadu Alla Ilaaha Illallah“ yang merupakan kesaksian bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sedangkan lafal yang kedua adalah “Wa Asyhadu Anna Muhammadan Rasuulullah” yang mengakui bahwa Nabi Muhammad Salallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah rasul utusan Allah. Syahadat ini pun ditengarai menjadi versi lain dari nama Sekaten yang dikenal sekarang. Selama tujuh hari berlangsungnya keramaian ini, banyak rakyat akhirnya memutuskan untuk masuk agama Islam. Bagi yang sudah masuk Islam khususnya laki-laki dilangsungkan upacara khitanan[2]. Dengan demikian, keramaian ini kemudian resmi menjadi upacara tahunan kerajaan dan kemudian dikenal dengan nama Sekaten.
3.      Beberapa Versi Istilah Sekaten:
Istilah sekaten ini tidak terlalu jelas. Dalam artian bahwa bukan hanya satu cerita yang mengisahkan mengenai terjadinya sekaten. Maka pada bagian ini kami akan memaparkan beberapa versi cerita munculnya nama sekaten.
Ø  Ada yang berpandangan bahwa kata sekaten berasal dari kata sekati, yaitu nama dari dua perangkat gamelan pusaka Kraton Yogyakarta yang bernama kanjeng Kyai Sekati yang ditabuh dalam rangkaian acara peringatan Maulid (kelahiran) Nabi Muhammad SAW. Upacara untuk peringatan ini kemudian dinamakan sekaten karena didalam rangakian acaranya ditabuh gamelan pasukan kraton yang bernama Kanjeng Kyai Sekati.
Ø  Pandangan lain mengatakan bahwa kata sekatan berasal dari kata suka  dan ati  yang berarti suka hati atau senang hati. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa pada saat itu, yaitu pada saat-saat menyambut hari Maulid Nabi Muhammad SAW itu orang-orang berada dalam suasana bersuka hati terbukti dengan diadakannya perayaan atau keramaian dan pasar malam di alun-alun.
Ø  Pandangan yang ketiga pun mengatakan bahwa kata sekaten berasal dari kata syahadatain yang maksudnya dua kalimat syahadat. Syahadat yang pertama disebut syahadat tauhid, berbunyi Asyhadu allah Ila-ha-ilallah. Sedangkan syahadat kedua disebut syahadat Rasul yang berbunyi waasyahadu anna Muhammadarrosululloh. Ada pun alasannya adalah pada zaman dahulu upacara sekaten adalah merupakan perayaan yang diselenggarakan dalam rangka syiar agama Islam dan orang-orang yang datang pada upacara perayaan tersebut dengan suka rela masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat (syahadataini) tersebut[3].

4.        Simbol-simbol Dalam Upacara Sekaten
Dalam upacara sekaten, ada beberapa simbol yang kiranya cukup penting untuk diketahui:


1.      Gamelan
Dalam ritual sekaten ini para abdi dalam akan menabuh dua buah gamelan milik keratin, yakni Kiai Kanjrng Guntur Madu mackyang berarti yang manis abu yang baik”, dan Kiai kanjeng Naga wilayah yang mempunyai arti segala sesuatu yang punya inti pokok. Naum Kiai gamelan ini telah dibagi dua yakni kiai kanjrng gintir madu untuk Yogyakarta dan kiai kanjrng  naga wilayah untuk Surakarta. Makna dari gamelan ini adalah untuk menarik masyarakat agar memeluk Islam. Gamelan ini ditabuh dari jam 06.00 hingga 24.00 tanpa berhenti dan menjadi tontonan beribu-ribu orang yang datang dari segala pelosok kota dan desa-desa sekitar selama sepekan[4].   
2.      Gunungan
Yang berisi hasil panen yang mirip seperti tumpeng, namun dengan ukuran besar. Biasanya, gunungan berisi buah-buahan, apem atau hasil bumi yang ditata sedemikian rupa, yang menggambarkan sedekah raja kepada rakyatnya serta menyimbolkan kesejahteraan. Memang dalam prakteknya, maksudnya adalah ketika orang-orang merebut gunungan itu pasti ada yang menjadi korban, ada yang pingsan atau juga mengalami sesak napas karena saling berdesakan untuk merebut gunungan itu, tetapi hal itu tidak menjadi halangan bagi warga untuk merebut gunungan. Karena mereka percaya bahwa dengan mendapat gunungan itu mereka mendapat berkat.
Gunungan yang berisi hasil panen dari aneka jenis sayuran itu akan diusung oleh ratusan abdi dalem yang dikawal oleh 12 bregodo (prajurit keraton), terdiri dari 10 bregodo prajurit Lombok Abangandari Keraton Yogyakarta dan dua bregodo prajurit Plangkir Kadipaten Pakualam. Biasanya ada tujuh gunungan yang akan diarak. Gunungan yang diarak itu terdiri dari tiga gunungan kakung, satu gunungan puteri, satu gunungan gepak, satu gunungan pawuhan, dan satu gnungan darat.
3.      Udhik-udhik
Penyebaran berkah oleh sultan kepada rakyatnya. Udhik-udhik terdiri dari beras kuning dan uang recehan. Bila mendapat beras kuning maka harus dimakan dan bila dapat uang recehan maka uang itu sebaiknya disimpan untuk berkah. Memang kalau kita melihat nilai nominal dari uang itu kecil, tetapi bukan itu yang menjadi tujuannya melainkan nilai yang terkandung di balik itu, yaitu berkat dan sekaligus sebagai bentuk perhatian sultan terhadap kesejahteraan rakyatnya.
4.      Pasar malam
Seperti yang telah disinggung pada bagian gamelan, cikal bakal pasar malam berasal dari gamelan yang dimainkan tanpa henti dari jam 06.00-24.00. Selama pekan itu gamelan dibunyikan dan orang dari berbagai pelosok datang menonton dan mendengarkan tabuhan gamelan itu. Dari sini alun-alun pun berubah menjadi pasar malam, dimana ada berbagai macam pertunjukan, seperti wayang orang, sulap, lawak dan sebagainya, dan merupakan kesempatan untuk berjualan makanan, baik yang berupa restoran maupun warung kecil, dan juga yang jajakan oleh para pedagang kaki lima[5]. Dalam perkembangan pasar malam mengalami kemajuan. Kemajuannya adalah malam diadakan pasar malam semakin diperpanjang hingga 39 hari.
5.      Penutup
Upacara sekaten merupakan salah satu upacara kebudayaan yang diteruskan secara turun-temurun dari kerajaan Demak. Upacara ini juga merupakan rangkaian kegiatan yang dapat menyatukan seluruh masyarakat Yogyakarta. Makna yang terkandung dalam upacara ini sangat besar dan bermanfaat bagi masyarakat khususnya umat muslim, karena kegiatan ini juga merupakan sarana penyebaran agama Islam.
Sejarah menyatakan bahwa sekaten dapat juga menarik perhatian pengunjung baik yang domestik maupun manca Negara. Kedatangan para pengunjung ini bukan hanya ingin menikmati sekaten, namun lebih dari itu ingin mengenal dan mengerti budaya sekaten itu sendiri. Oleh karena itu kegiatan sekaten ini kiranya dijaga sedemikian rupa agar tidak menyeleweng dari makna awal diadakannya sekaten. Karena dengan adanya sekaten, Indonesia dan Yogyakarta pada khususnya dapat  dikenal.








DAFTAR PUSTAKA


Koentjaraningrat.,
1994, Kebudayaan Jawa, Balai Pustaka, Jakarta.
Soelarto, B.,
1993, Garebeg di Kesultanan Yogyakarta, Kanisius, Yogyakarta.
Suyami.,
2008, Upacara Ritual di Kraton Yogyakarta, Kepel, Yogyakarta.


[1] B. Soelarto, Garebeg di Kesultanan Yogyakarta, Kanisius, Yogyakarta 1993, 10-11.
[3] Bdk. Suyami, Upacara Ritual di Kraton Yogyakarta, Kepel, Yogyakarta 2008, 30-31.
[4] Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Balai Pustaka, Jakarta 1994, 367.
[5] Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, 367.