GURUKU ADALAH PENGALAMANKU
”Usia boleh senja, tenaga boleh
berkurang, tuntutan boleh semakin keras tetapi pengharapan bukan pantangan
buatku yang adalah seorang buruh pabrik.”
“Pengalaman adalah guru yang paling
baik”. Begitulah bunyi pepatah kuno yang menjadi inspirasi bagi para buruh di
pabrik plastik Solo. Bukan hanya pengalaman suka tapi justru dengan pengalaman
pahit mereka belajar untuk menjadi lebih baik. Seminggu berada bersama mereka
saya mampu belajar banyak tentang arti sebuah perjuangan demi terwujudnya
sebuah pengharapan. Tulisan ini adalah hasil dari sebuah pengalaman perjumpaan
yang juga menjadi guru bagi saya.
Di
jln. Debegan, Solo yang dipadati kendaraan beroda dua maupun beroda empat,
berdiri dengan kokoh sebuah bangunan tua yang tampak seolah-olah tak
berpenghuni. Warna temboknya yang mulai memudar menandakan bahwa bangunan ini telah
berdiri berpuluh-puluh tahun. Selayang pandang bangunan ini tidak berguna lagi
di saat sekarang. Namun ketika masuk lebih ke dalam dan menyaksikan pemandangan
yang ada, terdapat 1500 orang yang bekerja sebagai buruh di bangunan tua ini.
Memang benar kata orang, “kalau menilai sesuatu nilailah secara keseluruhan,
jangan hanya melihat bagian luarnya saja”. Begitulah kira-kira gambaran
bangunan tua ini yang adalah sebuah pabrik plastik yang terkenal di Kota Solo.
Sebagai buruh, keadaan keluarga Ibu
Saidi memang tak menentu. Dengan tuntutan hidup yang semakin keras kadang untuk
makan pun terasa sulit. Tetapi semangatnya tak pernah pudar karena ada
keyakinan yang kuat dalam dirinya bahwa Tuhan selalu ada dalam seluruh
perjuangannya. Sebagai bukti ia mengatakan bahwa, sampai saat ini ia masih
diberi kesehatan yang baik dan kebahagiaan yang cukup. Kesehatan yang baik dan
kebahagiaan yang cukup ia dapatkan dari Tuhan melalui sesama buruh yang
solider. Situasi ini harus dijalani karena memang ia bukanlah seorang yang
berpendidikan tinggi dan mempunyai jabatan dalam sebuah perusahan. Ibu Saidi
hanyalah seorang lulusan Sekolah Dasar (SD) itu pun harus ditempu selama 8 tahun
karena harus berhenti untuk bekerja membantu ayahnya demi membiayai hidup
keluarga mereka. Kini ibu Saidi sungguh menikmati pekerjaannya sebagai buruh
pabrik walau di sela-sela kesibukan itu ia berjualan gorengan di halaman pabrik untuk menambah penghasilan. Keuntungan
yang tak seberapa ditambah upah bulanan digunakan untuk membiayai hidup
keluarganya. Ia tak pernah merasa lelah, bosan karena kegembiraan dan sukacita
selalu dirasakan lewat kawan-kawan buruh yang sungguh baik hati dan anak-anak
yang selalu menghibur.
Sudah dua puluh tiga tahun ibu Saidi
bekerja di pabrik ini. Sejak masih bujang hingga kini ia memiliki tiga anak. Sekarang
ibu Saidi adalah single parent karena
empat tahun yang lalu suaminya telah dipanggil Tuhan menghadap hadirat-Nya.
Anaknya yang sulung sekarang kuliah di Universitas Slamet Riyadi, semester
tujuh, yang kedua kelas tiga SMA dan yang bungsu kelas dua SMP. Menurutnya
mereka adalah anak-anak yang pandai karena selalu menunjukkan nilai-nilai yang
memuaskan ketika melihat hasil studi mereka. Walau tuntutan kehidupan semakin
tinggi namun ia tetap berusaha agar anak-anak yang pandai ini tidak mengalami
nasib yang sama seperti yang dialaminya. "Mereka harus lebih dari saya,
mereka harus sekolah dan kelak menjadi orang yang sukses. Masa laluku biarlah
menjadi pengajar yang setia dan jangan terjadi dalam hidup anak-anakku. Mereka
masih mempunyai kesempatan yang luas untuk menjadi lebih baik”. Inilah ungkapan
harapan yang selalu terbersit dalam setiap derap langkah hidup ibu Saidi. Dengan
upah kerja yang seadanya ia terus berjuang demi masa depan dan kebahagiaan
anak-anaknya.
Kini
usianya sudah kepala lima (51),
tenaganya mulai berkurang, tuntutan pekerjaan semakin tinggi, biaya hidup
keluarga bertambah, perubahan dunia yang kadang bisa menggelapkan masa depan
anak-anak namun lilin pengharapan selalu bernyala dalam hatinya. Pengharapan
akan masa depan dan kebahagiaan anak-anaknya. Kebahagiaan di dunia akan tercapai
apabila melihat pengharapannya terjadi dalam diri anak-anak. Maka selama Tuhan
masih memberi napas kehidupan ia terus berjuang, berusaha karena Tuhan tak
pernah menutup mata akan orang yang selalu berharap pada-Nya.
Rafi
Uran, CSsR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar