Kamis, 13 Februari 2014

belajar dari kaum buruh



GURUKU ADALAH PENGALAMANKU

”Usia boleh senja, tenaga boleh berkurang, tuntutan boleh semakin keras tetapi pengharapan bukan pantangan buatku yang adalah seorang buruh pabrik.”
            “Pengalaman adalah guru yang paling baik”. Begitulah bunyi pepatah kuno yang menjadi inspirasi bagi para buruh di pabrik plastik Solo. Bukan hanya pengalaman suka tapi justru dengan pengalaman pahit mereka belajar untuk menjadi lebih baik. Seminggu berada bersama mereka saya mampu belajar banyak tentang arti sebuah perjuangan demi terwujudnya sebuah pengharapan. Tulisan ini adalah hasil dari sebuah pengalaman perjumpaan yang juga menjadi guru bagi saya.
Di jln. Debegan, Solo yang dipadati kendaraan beroda dua maupun beroda empat, berdiri dengan kokoh sebuah bangunan tua yang tampak seolah-olah tak berpenghuni. Warna temboknya yang mulai memudar menandakan bahwa bangunan ini telah berdiri berpuluh-puluh tahun. Selayang pandang bangunan ini tidak berguna lagi di saat sekarang. Namun ketika masuk lebih ke dalam dan menyaksikan pemandangan yang ada, terdapat 1500 orang yang bekerja sebagai buruh di bangunan tua ini. Memang benar kata orang, “kalau menilai sesuatu nilailah secara keseluruhan, jangan hanya melihat bagian luarnya saja”. Begitulah kira-kira gambaran bangunan tua ini yang adalah sebuah pabrik plastik yang terkenal di Kota Solo.
            Sebagai buruh, keadaan keluarga Ibu Saidi memang tak menentu. Dengan tuntutan hidup yang semakin keras kadang untuk makan pun terasa sulit. Tetapi semangatnya tak pernah pudar karena ada keyakinan yang kuat dalam dirinya bahwa Tuhan selalu ada dalam seluruh perjuangannya. Sebagai bukti ia mengatakan bahwa, sampai saat ini ia masih diberi kesehatan yang baik dan kebahagiaan yang cukup. Kesehatan yang baik dan kebahagiaan yang cukup ia dapatkan dari Tuhan melalui sesama buruh yang solider. Situasi ini harus dijalani karena memang ia bukanlah seorang yang berpendidikan tinggi dan mempunyai jabatan dalam sebuah perusahan. Ibu Saidi hanyalah seorang lulusan Sekolah Dasar (SD) itu pun harus ditempu selama 8 tahun karena harus berhenti untuk bekerja membantu ayahnya demi membiayai hidup keluarga mereka. Kini ibu Saidi sungguh menikmati pekerjaannya sebagai buruh pabrik walau di sela-sela kesibukan itu ia berjualan gorengan di halaman pabrik untuk menambah penghasilan. Keuntungan yang tak seberapa ditambah upah bulanan digunakan untuk membiayai hidup keluarganya. Ia tak pernah merasa lelah, bosan karena kegembiraan dan sukacita selalu dirasakan lewat kawan-kawan buruh yang sungguh baik hati dan anak-anak yang selalu menghibur.
            Sudah dua puluh tiga tahun ibu Saidi bekerja di pabrik ini. Sejak masih bujang hingga kini ia memiliki tiga anak. Sekarang ibu Saidi adalah single parent karena empat tahun yang lalu suaminya telah dipanggil Tuhan menghadap hadirat-Nya. Anaknya yang sulung sekarang kuliah di Universitas Slamet Riyadi, semester tujuh, yang kedua kelas tiga SMA dan yang bungsu kelas dua SMP. Menurutnya mereka adalah anak-anak yang pandai karena selalu menunjukkan nilai-nilai yang memuaskan ketika melihat hasil studi mereka. Walau tuntutan kehidupan semakin tinggi namun ia tetap berusaha agar anak-anak yang pandai ini tidak mengalami nasib yang sama seperti yang dialaminya. "Mereka harus lebih dari saya, mereka harus sekolah dan kelak menjadi orang yang sukses. Masa laluku biarlah menjadi pengajar yang setia dan jangan terjadi dalam hidup anak-anakku. Mereka masih mempunyai kesempatan yang luas untuk menjadi lebih baik”. Inilah ungkapan harapan yang selalu terbersit dalam setiap derap langkah hidup ibu Saidi. Dengan upah kerja yang seadanya ia terus berjuang demi masa depan dan kebahagiaan anak-anaknya.
Kini usianya sudah kepala lima (51), tenaganya mulai berkurang, tuntutan pekerjaan semakin tinggi, biaya hidup keluarga bertambah, perubahan dunia yang kadang bisa menggelapkan masa depan anak-anak namun lilin pengharapan selalu bernyala dalam hatinya. Pengharapan akan masa depan dan kebahagiaan anak-anaknya. Kebahagiaan di dunia akan tercapai apabila melihat pengharapannya terjadi dalam diri anak-anak. Maka selama Tuhan masih memberi napas kehidupan ia terus berjuang, berusaha karena Tuhan tak pernah menutup mata akan orang yang selalu berharap pada-Nya.

Rafi Uran, CSsR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar