ALLAH HADIR DALAM
SESAMA
Kehidupan sebagai seorang calon imam
memang tidak semudah yang dibayangkan. Tidak semudah membalikan telapak tangan.
Cobaan demi cobaan terus menghantui dan datang silih berganti. Kadang cobaan
itu mudah diatasi alias cobaan ringan namun kadang sulit diatasi, harus melalui
suatu refleksi yang panjang. Hal ini sering dialami dalam kehidupan saya sebagai seorang frater. Dalam menghadapi
berbagai cobaan ini saya merasa bahwa bukan saya sendiri yang berjuang untuk
mengatasi masalah ini namun teman-teman, orang tua dan para pembimbing juga
sangat membantu saya.
Beberapa bulan yang lalu saya
dihadapankan dengan suatu persoalan yang bagi saya sangat berat dan menantang.
Namun tanpa saya sadari teman-teman, orang tua dan para pembimbing dengan cara
mereka masing-masing terus berusaha menguatkan saya. Mereka memberikan motivasi
dan kekuatan sehingga sampai dengan saat ini saya masih bertahan.
Paull Thilick adalah seorang Teolog
eksistensial. Dalam pemikiran-pemikirannya yang sangat kritis dapat dilihat
bahwa ia juga menekankan hubungan korelasi antara Allah dan manusia. Allah
mewahyukan diri-Nya kepada manusia (dalam diri Yesus Kristus), agar dapat
memahami pewahyuan Allah itu, manusia membutuhkan simbol-simbol[1].
Orang lain bisa juga menjadi simbol kehadiran Allah bagi yang lainnya.
Berkaitan dengan pengalaman saya di atas, dapat dilihat bahwa teman-teman,
orang tua dan para pembimbing dapat hadir sebagai simbol kehadiran Allah dalam
membantu saya. Allah hadir dan membantu saya melalui orang-orang yang ada.
“Barangsiapa mengasihi bapa atau
ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku”, (Mat. 10:37a). Kutipan
Sabda Allah ini mau menyampaikan kepada saya bahwa untuk mau menjadi seorang
imam harus “meninggalkan” segala-galanya demi Kerajaan Allah. Memang kelekatan
saya akan keluarga sangat erat namun bukan menjadikannya sebagai penghalang
untuk meninggalkan panggilan suci ini, justru sebaliknya menjadikan keluarga sebagai
pendukung dan penyemangat panggilan hidup ini. jika masih terikat kuat dengan
keluarga maka saya belum layak menjadi pelayan Tuhan. Seperti kata Yesus,
“setiap orang yang mau mengikuti Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul
salibnya dan mengikuti Aku” (Mark. 8:34). Jika saya betul-betul mau menjadi
imam, harus berani meninggalkan hal-hal duniawi yang mengikat saya. Walaupun
itu akan menjadi berat bagi saya. Kalaupun itu berat maka salib itu haruslah
saya pikul karena untuk itulah saya datang.
[1] Bdk. Tillich contribution is his method of correlation. With it he
addresses the modern world and brings theology into dialogue with it. he finds
a unity between the world and grace with symbol. J.J. Mueller, What Are They Saying About Theological Method,
Paulist Press, New York 1984, 32.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar