SEKATEN DALAM SEJARAH
1.
Pengantar
Berbicara tentang sekaten, sepintas
orang langsung berpikir tentang pasar malam yang digelar di alun-alun utara.
Namun bila ditelusuri secara lebih mendalam, kita akan menemukan arti
sesungguhnya dari sekaten itu sendiri yang mana sekaten itu bukanlah hanya
sekedar kegiatan yang berlangsung pada saat pasar malam itu tetapi lebih dari
pada itu sekaten sebenarnya merupakan sebuah rangkaian kegiatan budaya yang
dilakukan oleh Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat untuk memperingati Maulid Nabi
Muhammad SAW. Pasar malam yang digelar selama 39 hari hanyalah merupakan event
sebagai pendukung upacara sekaten demi memeriahkan kota Yogyakarta.
Bagi orang luar Jawa mungkin belum
terlalu mengenal dan bahkan mengira bahwa sekaten itu hanyalah sekedar kegiatan
dalam pasar malam itu sendiri. Untuk itu, dalam paper singkat ini, kami
sekelompok ingin menyajikan informasi akan peristiwa sekaten yang sesungguhnya
sejauh kami tangkap dari hasil wawancara kami dengan beberapa orang yang kami
jumpai saat kegiatan pasar malam itu berlangsung. Kami merasa apa yang termuat
dalam paper ini masih sangat kurang karena proses wawancara yang dilakukan
sangat singkat dan dalam waktu yang sangat mendesak. Maka kami menyadurnya juga
dari beberapa pustaka
yang mendukung.
2.
Sejarah
Sekaten Yogyakarta
Sekaten sudah dimulai sejak zaman
Kerajaan Hindu. Diceritakan bahwa pada masa pemerintahan Prabu Hajipamoso di
Kerajaan Pengging datanglah wabah penyakit menular. Dipercaya bahwa penyakit
tersebut disebarkan oleh makhluk-makhluk halus yang bersemayam di dalam rimba
Krendowahono. Untuk menghilangkan wabah penyakit menular, Prabu Hajipamoso
menitahkan untuk menyelenggarakan upacara kurban yang dipersembahkan untuk
Batari Durga. Upacara tersebut kemudian dikenal dengan nama mahesolawung. Pada saat itu ada hewan
yang harus menjadi kurban, maka yang dikurbankan saat itu adalah kerbau
(maheso) liar (lawung). Darah dan beberapa bagian tubuh tertentu dari hewan
tersebut dibawa ke rimba Krendowahono untuk dipersembahkan kepada Batari Durga.
Setelah diselenggarakan upacara tersebut, lenyaplah wabah penyakit menular
tersebut[1].
Kebetulan rakyat Majapahit mewarisi tradisi tersebut. Sehingga sampai pada masa
pemerintahan Prabu Brawijaya V, tradisi ini mengalami kemajuan. Misalnya kegiatan ini diramaikan
dengan memperdengarkan gamelan pusaka bernama Kanjeng Kyai Sekar Delima yang
dipandang keramat dan memberkati. Perkembangan ini sangat menarik perhatian
rakyat sehingga tidak sedikit yang hadir pada saat gamelan itu dibunyikan. Salah satu versi mengenai nama Sekaten ini
berasal dari kata sesek ati (sesak hati). Istilah Sesek Ati ini diambil
dari riwayat Prabu Brawijaya V yang dirundung kesedihan lantaran kerajaannya
terancam runtuh. Irama gendhing yang dilantunkan dalam tradisi sekaten
dimaksudkan untuk menghibur hati Prabu Brawijaya V. Karena itu, gendhing
Sekaten dipercaya bisa memberikan ketenteraman bila didengarkan dengan
sungguh-sungguh.
Tradisi ini kemudian diadopsi oleh kesultanan
Demak yang berdiri pada abad ke-15. Saat itu Kadipaten Demak berada di bawah
pimpinan Adipati Raden Patah yang bergelar Sultan Syah Alam Akbar atau Sultan
Ngabdil Suryongalam. Setiap tahun, Raden Patah menghimpun para pemuka agama
Islam di seluruh pulau Jawa yang dikenal dengan nama Walisanga untuk mengadakan
musyawarah di tempat itu.
Pada tahun 1939 Caka atau 1477 Masehi, Raden Patah selaku Adipati Kabupaten
Demak Bintara dengan dukungan para wali membangun Mesjid Demak. Selanjutnya
berdasarkan hasil Musyawarah para wali, digelarlah kegiatan syiar Islam secara
terus menerus selama 7 hari menjelang hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Agar
kegiatan tersebut menarik perhatian rakyat, dibunyikanlah dua perangkat gamelan
buah karya Sunan Giri. Selain membuat gamelan, Sunan Giri juga menciptakan
gending, untuk alat penyebaran agama Islam. Sekaten diadakan oleh Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Sekaten
itu sendiri merupakan simbol kecintaan rakyat dan keraton akan nabi Muhammad
SAW yang memiliki julukan habibullah (kekasih
Allah).
Agar kegiatan tersebut menarik perhatian rakyat
maka dibunyikanlah dua perangkat gamelan buah karya Sunan Giri sambil
melantunkan gendhing-gendhing ciptaan para wali terutama Sunan Kalijaga.
Sementara itu para wali secara bergantian melakukan kegiatan dakwah atau siar
agama Islam di hadapan rakyat yang hadir. Rakyat yang tertarik dengan upacara
tersebut dan ingin memeluk agama Islam dituntun untuk mengucapkan kalimat
Syahadat (Syahadatain). Lafal
Syahadat yang pertama adalah, “Asyhadu
Alla Ilaaha Illallah“ yang merupakan kesaksian bahwa tidak ada Tuhan yang
patut disembah selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sedangkan lafal yang kedua
adalah “Wa Asyhadu Anna Muhammadan
Rasuulullah” yang mengakui bahwa Nabi Muhammad Salallahu ‘Alaihi wa Sallam
adalah rasul utusan Allah. Syahadat ini pun ditengarai menjadi versi lain dari
nama Sekaten yang dikenal sekarang. Selama tujuh hari berlangsungnya keramaian
ini, banyak rakyat akhirnya memutuskan untuk masuk agama Islam. Bagi yang sudah
masuk Islam khususnya laki-laki dilangsungkan upacara khitanan[2].
Dengan demikian, keramaian ini kemudian resmi menjadi upacara tahunan kerajaan
dan kemudian dikenal dengan nama Sekaten.
3.
Beberapa
Versi Istilah Sekaten:
Istilah
sekaten ini tidak terlalu jelas. Dalam artian bahwa
bukan hanya satu cerita yang mengisahkan mengenai terjadinya sekaten. Maka pada
bagian ini kami akan memaparkan beberapa versi cerita munculnya nama sekaten.
Ø Ada
yang berpandangan bahwa kata sekaten berasal dari kata sekati, yaitu nama dari dua perangkat gamelan pusaka Kraton
Yogyakarta yang bernama kanjeng Kyai
Sekati yang ditabuh dalam rangkaian acara peringatan Maulid (kelahiran)
Nabi Muhammad SAW. Upacara untuk peringatan ini kemudian dinamakan sekaten
karena didalam rangakian acaranya ditabuh gamelan pasukan kraton yang bernama Kanjeng Kyai Sekati.
Ø Pandangan
lain mengatakan bahwa kata sekatan berasal dari kata suka dan ati yang berarti suka hati atau senang hati. Hal
ini didasarkan pada alasan bahwa pada saat itu, yaitu pada saat-saat menyambut
hari Maulid Nabi Muhammad SAW itu orang-orang berada dalam suasana bersuka hati terbukti dengan diadakannya
perayaan atau keramaian dan pasar malam di alun-alun.
Ø Pandangan
yang ketiga pun mengatakan bahwa kata sekaten berasal dari kata syahadatain yang maksudnya dua kalimat
syahadat. Syahadat yang pertama disebut syahadat tauhid, berbunyi Asyhadu allah
Ila-ha-ilallah. Sedangkan syahadat kedua disebut syahadat Rasul yang berbunyi waasyahadu
anna Muhammadarrosululloh. Ada pun alasannya adalah pada zaman dahulu
upacara sekaten adalah merupakan perayaan yang diselenggarakan dalam rangka syiar
agama Islam dan orang-orang yang datang pada upacara perayaan tersebut dengan
suka rela masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat (syahadataini) tersebut[3].
4.
Simbol-simbol
Dalam Upacara Sekaten
Dalam
upacara sekaten, ada beberapa simbol yang kiranya cukup penting untuk
diketahui:
1.
Gamelan
Dalam
ritual sekaten ini para abdi dalam akan menabuh dua buah gamelan milik keratin,
yakni Kiai Kanjrng Guntur Madu mackyang
berarti yang manis abu yang baik”, dan Kiai kanjeng Naga wilayah yang mempunyai
arti segala sesuatu yang punya inti
pokok. Naum Kiai
gamelan ini telah dibagi dua yakni kiai kanjrng gintir madu untuk Yogyakarta
dan kiai kanjrng naga wilayah untuk Surakarta. Makna dari
gamelan ini adalah untuk menarik masyarakat agar memeluk Islam. Gamelan
ini ditabuh dari jam 06.00 hingga 24.00 tanpa berhenti dan menjadi tontonan
beribu-ribu orang yang datang dari segala pelosok kota dan desa-desa sekitar
selama sepekan[4].
2.
Gunungan
Yang
berisi hasil panen yang mirip seperti tumpeng, namun dengan ukuran besar. Biasanya, gunungan berisi buah-buahan, apem atau hasil bumi yang
ditata sedemikian rupa, yang menggambarkan sedekah raja kepada rakyatnya serta
menyimbolkan kesejahteraan. Memang dalam prakteknya, maksudnya adalah ketika
orang-orang merebut gunungan itu pasti ada yang menjadi korban, ada yang
pingsan atau juga mengalami sesak napas karena saling berdesakan untuk merebut
gunungan itu, tetapi hal itu tidak menjadi halangan bagi warga untuk merebut
gunungan. Karena mereka percaya bahwa dengan mendapat gunungan itu mereka
mendapat berkat.
Gunungan yang berisi hasil panen dari aneka
jenis sayuran itu akan diusung oleh ratusan abdi dalem yang dikawal oleh 12 bregodo (prajurit keraton), terdiri dari
10 bregodo prajurit Lombok
Abangandari Keraton Yogyakarta dan dua bregodo
prajurit Plangkir Kadipaten Pakualam. Biasanya ada tujuh gunungan yang akan
diarak. Gunungan yang diarak itu terdiri dari tiga gunungan kakung, satu
gunungan puteri, satu gunungan gepak, satu gunungan pawuhan, dan satu gnungan
darat.
3.
Udhik-udhik
Penyebaran
berkah oleh sultan kepada rakyatnya. Udhik-udhik terdiri dari beras kuning dan
uang recehan. Bila mendapat beras kuning maka harus dimakan dan bila dapat uang
recehan maka uang itu sebaiknya
disimpan untuk berkah. Memang kalau kita melihat nilai nominal dari uang itu
kecil, tetapi bukan itu yang menjadi tujuannya melainkan nilai yang terkandung
di balik itu, yaitu berkat dan sekaligus sebagai bentuk perhatian sultan
terhadap kesejahteraan rakyatnya.
4.
Pasar
malam
Seperti
yang telah disinggung pada bagian gamelan, cikal bakal pasar malam berasal dari
gamelan yang dimainkan tanpa henti dari jam 06.00-24.00. Selama pekan itu
gamelan dibunyikan dan orang dari berbagai pelosok datang menonton dan
mendengarkan tabuhan gamelan itu. Dari sini alun-alun pun berubah menjadi pasar
malam, dimana ada berbagai macam pertunjukan, seperti wayang orang, sulap,
lawak dan sebagainya, dan merupakan kesempatan untuk berjualan makanan, baik
yang berupa restoran maupun warung kecil, dan juga yang jajakan oleh para
pedagang kaki lima[5].
Dalam perkembangan pasar malam mengalami kemajuan. Kemajuannya adalah malam
diadakan pasar malam semakin diperpanjang hingga 39 hari.
5.
Penutup
Upacara
sekaten merupakan salah satu upacara kebudayaan yang diteruskan secara
turun-temurun dari kerajaan Demak. Upacara ini juga merupakan rangkaian
kegiatan yang dapat menyatukan seluruh masyarakat Yogyakarta. Makna yang terkandung
dalam upacara ini sangat besar dan bermanfaat bagi masyarakat khususnya umat
muslim, karena kegiatan ini juga merupakan sarana penyebaran agama Islam.
Sejarah
menyatakan bahwa sekaten dapat juga menarik perhatian pengunjung baik yang
domestik maupun manca Negara. Kedatangan para pengunjung ini bukan hanya ingin
menikmati sekaten, namun lebih dari itu ingin mengenal dan mengerti budaya
sekaten itu sendiri. Oleh karena itu kegiatan sekaten ini kiranya dijaga
sedemikian rupa agar tidak menyeleweng dari makna awal diadakannya sekaten.
Karena dengan adanya sekaten,
Indonesia dan Yogyakarta pada khususnya dapat
dikenal.
DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat.,
1994, Kebudayaan Jawa, Balai Pustaka, Jakarta.
Soelarto,
B.,
1993, Garebeg di Kesultanan Yogyakarta, Kanisius, Yogyakarta.
Suyami.,
2008, Upacara Ritual di Kraton Yogyakarta, Kepel, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar